KMHDI Keluarkan Tiga Sikap di Hari Buruh Internasional 2025

Jakarta – 1 Mei 2025. Dalam momentum peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei 2025, Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) menyuarakan sikap kritis terhadap situasi ketenagakerjaan nasional yang dinilai kian mengkhawatirkan. Melalui pernyataan resminya, Pengurus Pusat KMHDI menyampaikan tiga sikap utama sebagai bentuk tanggapan terhadap gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang terus melanda Indonesia sejak awal tahun.

Ketua Umum PP KMHDI, I Wayan Darmawan, dalam keterangan persnya menyebutkan bahwa Indonesia tengah menghadapi fase krisis ketenagakerjaan yang serius. Menurutnya, sepanjang awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sejumlah perusahaan besar telah melakukan PHK terhadap ribuan buruh.

“Seperti PT Sritex yang telah mem-PHK belasan ribu buruh, serta perusahaan besar lainnya seperti PT Yamaha Musik, PT Sanken, dan PT Danbi yang juga mengambil langkah serupa,” ungkap Darmawan.

KMHDI menilai, gelombang PHK ini disebabkan oleh berbagai faktor struktural dan kebijakan ekonomi yang belum sepenuhnya berpihak pada tenaga kerja nasional. Di antaranya adalah kondisi ekonomi global yang masih belum stabil pasca pandemi, banjirnya produk impor, penurunan daya beli masyarakat, hingga relokasi pabrik ke wilayah dengan biaya produksi lebih murah.

Darmawan menyoroti secara khusus ancaman yang ditimbulkan oleh rencana kebijakan tarif Amerika Serikat terhadap barang impor asal Indonesia. “Tarif sebesar 32% yang diwacanakan Amerika Serikat terhadap produk Indonesia akan sangat memukul industri dalam negeri, terutama yang berorientasi ekspor,” terangnya.

Menurutnya, meski kebijakan itu saat ini masih dalam tahap penangguhan, potensi penerapannya tetap menimbulkan kekhawatiran serius. Bila diterapkan, maka barang-barang asal Indonesia akan kehilangan daya saing di pasar ekspor, terutama di Amerika Serikat. Dalam jangka pendek, hal ini akan menurunkan permintaan terhadap produk ekspor Indonesia dan pada akhirnya memaksa perusahaan melakukan efisiensi, termasuk PHK pekerja sebagai pilihan terakhir.

Tak hanya itu, KMHDI juga mengkritisi keberlanjutan pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai melemahkan posisi pekerja. Menurut Darmawan, rezim hukum ini membuat proses PHK menjadi lebih mudah dilakukan oleh perusahaan, tanpa mekanisme perlindungan yang memadai bagi buruh.

“UU Cipta Kerja telah menciptakan rezim ketenagakerjaan yang sangat longgar. Proses pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan secara sepihak oleh perusahaan, tanpa perlu adanya proses mediasi atau perundingan yang adil,” jelasnya.

Selain kebijakan hukum, Darmawan juga menyoroti rencana pemerintah yang membuka kran impor lebih lebar. Ia menilai bahwa pelonggaran impor akan semakin melemahkan industri dalam negeri, khususnya sektor-sektor yang masih bergantung pada proteksi tarif.

“Produk-produk luar negeri yang masuk dengan harga murah akan membanjiri pasar domestik, sehingga memperburuk daya saing produk lokal. Ini jelas akan memukul industri kecil dan menengah, serta berpotensi memicu PHK massal berikutnya,” ujar Darmawan menegaskan.

Menanggapi situasi tersebut, KMHDI mengajukan tiga sikap resmi sebagai bentuk dorongan kepada pemerintah agar segera mengambil tindakan konkret dan berpihak pada keberlangsungan hidup pekerja.

Pertama, KMHDI mendesak pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) PHK yang bertugas memantau, mengevaluasi, dan merespons gelombang PHK secara cepat dan terstruktur. Satgas ini diharapkan dapat berfungsi sebagai garda depan dalam menjaga stabilitas hubungan industrial serta mengurangi dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan oleh PHK massal.

Kedua, KMHDI mendorong percepatan diversifikasi pasar ekspor dan rantai pasok global di luar wilayah Amerika Serikat. Hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada satu pasar utama, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi nasional terhadap tekanan geopolitik dan fluktuasi perdagangan internasional.

Ketiga, KMHDI meminta pemerintah meninjau kembali Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024. Kedua regulasi tersebut dinilai belum memberikan perlindungan optimal terhadap hak-hak pekerja maupun kelangsungan industri dalam negeri.

“Revisi terhadap regulasi ini menjadi penting agar kebijakan yang dikeluarkan tidak hanya menguntungkan sektor usaha besar, tetapi juga memberikan keadilan bagi pekerja dan pelaku usaha lokal,” tambah Darmawan.

KMHDI menegaskan bahwa suara kaum muda harus turut hadir dalam isu-isu strategis nasional, termasuk soal ketenagakerjaan. Dalam momentum Hari Buruh Internasional ini, organisasi mahasiswa Hindu ini berharap pemerintah tidak lagi menutup mata terhadap berbagai keluhan pekerja dan mahasiswa yang menaruh kepedulian pada masa depan bangsa.

“Buruh bukan sekadar angka statistik. Mereka adalah tulang punggung ekonomi bangsa. Karenanya, menjaga mereka berarti menjaga Indonesia,” pungkas Darmawan.

Lihat berita lainya di : Pohalaa.com