
“Copot Kapolda Gorontalo : Gagal menjaga Ruang Aman terhadap Aktivis”
Abd Ziad Arafah Ketua Bidang Komunikasi Politik PP-SEPMI
Kronologi Peristiwa Intimidasi dan Kekerasan terhadap Aktivis
Dalam tiga bulan terakhir, Gorontalo menyaksikan peningkatan tajam dalam kekerasan dan intimidasi terhadap aktivis yang menentang kebijakan pemerintah dan praktik pertambangan ilegal. Serangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa Kapolda Gorontalo tidak berhasil menciptakan lingkungan yang aman untuk kebebasan berpendapat dan berorganisasi, yang merupakan pilar demokrasi dan hak asasi manusia.
Untuk pertama kalinya, dalam dua pekan terakhir, beberapa aktivis di Gorontalo mengalami serangan fisik dari individu yang tidak dikenal. Korban, termasuk Hidayat Musa, mantan Ketua Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) Gorontalo, terkena serangan tiba-tiba dari pelaku yang kemudian melarikan diri. Pola serangan yang direncanakan ini menunjukkan adanya upaya terorganisir untuk menyembunyikan masalah tambang ilegal di daerah tersebut. Polisi belum melakukan apa-apa tentang kasus ini, menimbulkan keraguan publik tentang seberapa serius mereka melindungi aktivis. Terakhir Harun Alulu Koordinator BEM Nusantara Provinsi Gorontalo yang juga Ketua Bidang Kumhankam HMI Badan Koordinasi Sulawesi Utara-Gorontalo menjadi korban penganiyaan oleh orang yang tak dikenal (OTK) pada Selasa 13 Mei 2025 tepatnya pukul 00.30 WITA
Pada pertengahan April, demonstrasi damai menentang perluasan tambang di Kabupaten Bone Bolango berakhir dengan kekerasan. Puluhan aktivis lingkungan mengalami luka-luka karena tindakan represif aparat yang tidak sesuai dengan protokol pengendalian unjuk rasa; lima di antaranya harus dirawat di rumah sakit. Keprihatinan mendalam tentang pelanggaran prosedur hukum terjadi ketika koordinator aksi, Rahmat Tohopi, ditahan selama 48 jam tanpa pengacara.
Puncaknya terjadi pada 5 Mei 2025, ketika tiga aktivis anti-korupsi dari Koalisi Masyarakat Sipil Gorontalo ditangkap secara tidak sengaja setelah berpidato tentang dugaan korupsi dalam proyek infrastruktur lokal. Mereka ditahan atas tuduhan pencemaran nama baik, meskipun konten mereka dilengkapi dengan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Pola Kriminalisasi Sistematis
Sejumlah laporan dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sulawesi dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo menunjukkan bahwa di bawah kepemimpinan Kapolda yang baru dilantik, suara kritis telah dikriminalisasi secara sistematis. Setidaknya lima belas aktivis dan jurnalis telah mengalami intimidasi dalam berbagai bentuk, termasuk ancaman, pengawasan ilegal, dan panggilan polisi tanpa alasan yang jelas.
Selama kunjungan terakhirnya ke Gorontalo pada akhir April 2025, Komnas HAM mencatat setidaknya tujuh kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dan lima kasus pelanggaran kebebasan berkumpul, yang semuanya terkait langsung dengan kebijakan keamanan yang diterapkan Kapolda Gorontalo. Hasil ini memperkuat bukti bahwa perlindungan hak asasi manusia di provinsi tersebut telah menurun secara signifikan sejak pergantian pimpinan kepolisian daerah.
Penyusutan Ruang Kebebasan Sipil
Situasi di Gorontalo menunjukkan penyusutan ruang kebebasan sipil yang mengkhawatirkan. Banyak organisasi atau masyarakat sipil mengatakan mereka tidak mau mengatur acara publik karena khawatir akan terjadi intimidasi dan penangkapan. Di masa lalu, perdebatan kritis tentang kebijakan atau aksi parlemen jalanan untuk menyuarakan aspirasi sering diadakan, tetapi sekarang bahkan diadakan secara sembunyi-sembunyi. Sejak Kapolda baru dilantik, jumlah kasus intimidasi terhadap aktivis meningkat 175% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menurut data yang dikumpulkan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gorontalo. Angka-angka ini menunjukkan bahwa metode keamanan telah berubah untuk mendukung kebebasan sipil.
Dampak Psikilogis dan Sosial
Selain masalah hukum dan politik, intimidasi yang dialami para aktivis telah berdampak secara psikologis pada mereka yang menjadi korban. Beberapa dari mereka melaporkan mengalami gejala seperti, kecemasan, ketakutan dan bahkan trauma setelah insiden tersebut. Ini memengaruhi kohesi sosial aktivis dan kesehatan mental mereka. Yayasan Pulih, yang memberikan pendampingan psikososial, telah membantu setidaknya dua belas aktivis di Gorontalo yang mengalami tekanan psikologis karena intimidasi. Koordinator program Yayasan Pulih, Sri Handayani, mengatakan, “Kami melihat pola yang mengkhawatirkan dimana aktivis muda mulai mengurungkan niat mereka untuk terlibat dalam gerakan sosial karena ketakutan akan akibat dari pengalaman rekan-rekan mereka.”
Tanggapan dan Reaksi Berbagai Pihak
Respon Masyarakat Sipil: Pernyataan yang dikeluarkan oleh Ziad Arafah Ketua Bidang Komunikasi Politik PP-SEPMI (Serikat Pelajar Muslimin Indonesia), mengecam keras keadaan saat ini dan menuntut penilaian terhadap kepemimpinan Kapolda Gorontalo. ia menegaskan “bahwa cara aktivis dilayani telah melanggar nilai-nilai utama negara demokratis dan bertentangan dengan semangat reformasi”.
Tidak hanya masalah lokal, apa yang terjadi di Gorontalo merupakan ancaman terhadap demokrasi di tingkat nasional.
Dalam pernyataannya, Ziad Arafah, menyatakan “bahwa jika hal ini dibiarkan, ini dapat menjadi preseden buruk bagi daerah lain”. Selain itu, Ziad Arafah Ketua Bidang Komunikasi Politik PP-SEPMI akan menyerahkan laporan resmi kepada Komnas HAM dan Kompolnas, untuk dievaluasi.
Tuntutan dan Rekomendasi
Ketua Bidang Komunikasi Politik PP-SEPMI (Serikat Pelajar Muslimin Indonesia) menuntut tindakan konkret untuk mengatasi keadaan ini. Salah satu tuntutan utama SEPMI adalah pencopotan Kapolda Gorontalo dan penggantinya dengan pejabat yang telah berprestasi baik dalam melindungi HAM dan kebebasan sipil. Selain itu, mereka menuntut pembentukan tim independen yang akan menyelidiki setiap kasus kekerasan dan intimidasi terhadap aktivis yang terjadi selama kepemimpinan Kapolda saat ini. Ziad Arafah selaku Ketua Bidang Komunikasi Politik PP-SEPMI, menyatakan “bahwa ini bukan sekadar pergantian personel tetapi perubahan paradigma dalam menangani kebebasan berpendapat dan aktivisme di Gorontalo”
Kesimpulan dan Prospek Kedepan
Situasi yang terjadi di Gorontalo adalah peringatan besar bagi sistem demokrasi Indonesia secara keseluruhan. Kasus ini menunjukkan bagaimana perubahan kepemimpinan lokal dapat memengaruhi kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Pola intimidasi dan kriminalisasi aktivis dapat menyebar ke daerah lain jika tidak ada tindakan korektif yang cepat dan tegas.
Pencopotan Kapolda Gorontalo bukan hanya tindakan responsif atas insiden yang terjadi, tetapi juga tindakan pencegahan untuk mencegah praktik anti-demokrasi menjadi kebiasaan di lembaga kepolisian. Selain itu, momentum ini dapat berfungsi sebagai titik awal untuk penilaian yang lebih menyeluruh tentang strategi keamanan yang diterapkan terhadap aktivisme dan kebebasan berpendapat di seluruh Daerah Provinsi Gorontalo.
Dengan tekanan yang terus meningkat dari berbagai elemen masyarakat dan perhatian yang mulai diberikan oleh institusi-institusi nasional, ada harapan bahwa situasi di Gorontalo dapat menjadi katalis untuk penguatan, bukan pelemahan, demokrasi Indonesia. Yang dipertaruhkan bukan hanya nasib para aktivis di satu provinsi, tetapi juga integritas sistem demokrasi yang telah diperjuangkan selama dua dekade pasca-reformasi.
Baca Berita lainnya di Pohalaa.com