Alasan Tidak Menghargai Sudut Pandang Budaya Yang Berbeda
Karya : Ni Kadek Dwi Silawati
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali dihadapkan pada sudut pandang budaya yang berbeda. Namun, mengapa begitu sering kita gagal untuk sepenuhnya menghargai dan memahami perspektif budaya yang berbeda? Sejumlah alasan mendasar dapat menjelaskan fenomena ini.
Keberagaman di Indonesia menjadi simbol persatuan yang dikemas dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, kita harus menjaganya agar tetap utuh dan harmonis indonesia kerap mengalami krisis toleransi. Perbedaan yang ada justru menimbulkan perpecahan. seharusnya membuat Indonesia menjadi indah karena lebih “berwarna”.
Budaya adalah salah satu faktor utama yang menentukan cara orang bertindak dalam keadaan tertentu. Budaya adalah keseluruhan cara hidup, nilai, kepercayaan, tradisi, bahasa, dan pengetahuan yang dimiliki dan dibagikan oleh suatu kelompok manusia dalam suatu wilayah atau masyarakat tertentu. Budaya mencakup segala sesuatu yang menjadi bagian dari identitas sebuah kelompok,
Mengutip dari Vance dan Paik (2006) mendefinisikan budaya sebagai suatu sistem nilai dan norma yang dimiliki bersama di antara sekelompok orang dan, secara bersama-sama, merupakan suatu rancangan kehidupan. Pengaruh budaya terhadap kehidupan mencakup pada semua hubungan, baik pribadi maupun profesional.
Salah satu penyebab masyarakat tidak menghargai sudut pandang budaya orang lain adalah karena adanya perbedaan nilai budaya. Hal ini bertentangan dengan fakta bahwa agar masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai. Ketika kita mengamati kurangnya penghargaan terhadap budaya orang lain dalam masyarakat, terdapat beberapa faktor yang berkontribusi pada fenomena ini.
Pertama, terdapat tingkat ketidaktahuan atau kurangnya pendidikan tentang pentingnya menghargai keragaman budaya. Tanpa pemahaman yang memadai, individu cenderung menilai atau mengkritik budaya orang lain tanpa memahami latar belakang atau konteksnya. Selain itu, stereotip dan prasangka terhadap budaya tertentu juga menjadi penghalang yang signifikan.
Ketika seseorang terpapar dengan pandangan negatif tentang suatu budaya, mereka mungkin cenderung menganggapnya rendah atau tidak layak dihargai. Bridgeman, Lind dan Keating (2008) menyatakan bahwa moral dan nilai-nilai bersama ini dipelajari dari masyarakat unik di mana seseorang berasal.
Indonesia, dengan keragaman etnis, agama, bahasa, dan budaya yang kaya, memiliki sejumlah nilai budaya yang menjadi inti dari identitas nasionalnya. Beberapa nilai budaya yang penting di Indonesia antara lain:
- Gotong Royong: Prinsip gotong royong, atau kerja sama bersama untuk kepentingan bersama, merupakan nilai yang sangat dihargai dalam budaya Indonesia. Ini tercermin dalam berbagai kegiatan seperti gotong royong membersihkan lingkungan, membantu tetangga dalam kebutuhan, atau bahu-membahu dalam upacara adat.
- Musyawarah dan Mufakat: Pendekatan ini menekankan pentingnya berunding dan mencapai kesepakatan bersama dalam mengambil keputusan. Ini merupakan nilai yang sangat penting dalam budaya politik dan sosial Indonesia.
- Keberagaman dan Toleransi: Indonesia adalah rumah bagi berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya. Nilai toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan adalah prinsip yang sangat dijunjung tinggi di masyarakat Indonesia.
- Rasa Sopan Santun: Adab sopan santun, baik dalam bahasa, perilaku, maupun interaksi sosial, sangat dihargai dalam budaya Indonesia. Ini mencakup penggunaan kata-kata sopan, sikap hormat terhadap orang tua dan sesama, serta perhatian terhadap norma-norma sosial.
- Kepercayaan kepada Leluhur dan Tradisi: Keyakinan dalam kekuatan dan arahan dari leluhur serta menjaga tradisi nenek moyang merupakan nilai yang kuat dalam budaya Indonesia. Ini tercermin dalam berbagai upacara adat, ritual keagamaan, dan perayaan tradisional.
- Keluarga sebagai Pusat Kehidupan: Keluarga memiliki peran sentral dalam budaya Indonesia. Solidaritas keluarga, penghormatan terhadap orang tua, dan perhatian terhadap anggota keluarga lainnya adalah nilai-nilai yang dijunjung tinggi.
- Kesederhanaan: Nilai kesederhanaan tercermin dalam cara hidup yang sederhana dan tidak berlebihan. Ini termasuk sikap rendah hati, tidak sombong, dan menghargai apa yang dimiliki.
- Kreativitas dan Inovasi: Meskipun nilai-nilai tradisional tetap penting, Indonesia juga menghargai kreativitas, inovasi, dan adaptasi terhadap perubahan zaman. Hal ini tercermin dalam seni, musik, dan perkembangan budaya populer.
Nilai-nilai budaya ini tidaklah statis dan dapat mengalami perubahan seiring waktu dan perubahan sosial, tetapi mereka tetap menjadi bagian penting dari identitas dan karakter masyarakat Indonesia.
persaingan antar budaya dapat menyebabkan masyarakat tidak menghargai budaya orang lain. Persaingan ini mungkin membuat orang menganggap tradisi dan asal usul mereka lebih baik dibandingkan tradisi dan asal usul orang lain. Oleh karena itu, seseorang dari suatu budaya mungkin gagal menghargai pandangan orang lain karena mereka memandang budayanya sebagai “yang benar”.
Sikap kaku akan mengakibatkan rusaknya hubungan komunikasi. karena komunikasi yang efektif menuntut semua pihak menghargai pandangan satu sama lain (Tourish & Hargie, 2004). Seseorang hanya dapat mengatasi hal ini dengan belajar menyesuaikan perilakunya sehingga dapat kemudahan dalam memahami sistem budaya orang lain.
Hal ini dapat mengakibatkan miskomunikasi yang mungkin berdampak negatif besar bagi. Seseorang yang menghargai keragaman budaya akan mempertimbangkan konteks budaya baik ketika mengirim maupun menerima pesan dalam suasana multikultural (Gudykunst & Mody, 2002).
Seperti suku bali yang menghargai sudut pandang budaya yang berbeda karena masyarakat di bali menerapkan budaya menyama braya. Menyama Braya merupakan tradisi masyarakat Bali yang sudah direalisasikan sejak zaman dahulu. Tradisi ini bukan diterapkan oleh umat Hindu saja, melainkan seluruh umat beragama di Bali, mereka menerapkan tradisi Menyama Braya.
Menyama braya berasal dari bahasa Bali yang memiliki arti saling menghormati atau menganggap sama-sam. Ini adalah prinsip dasar dalam masyarakat Bali yang menekankan pentingnya toleransi, persaudaraan, dan penghargaan terhadap semua orang tanpa memandang perbedaan status, agama, atau latar belakang.
Berikut adalah beberapa bukti bagaimana masyarakat Bali menerapkan konsep menyama braya:
- Upacara Keagamaan Bersama: Masyarakat Bali sering kali mengadakan upacara keagamaan bersama di pura (kuil) atau desa, di mana semua anggota masyarakat, termasuk yang beragama Hindu maupun yang tidak, diundang untuk berpartisipasi. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap semua kepercayaan dan kesempatan untuk bersama-sama merayakan nilai-nilai budaya Bali.
- Gotong Royong: Konsep gotong royong sangat erat terkait dengan “menyama braya”. Masyarakat Bali sering kali berkumpul untuk melakukan kegiatan gotong royong seperti membersihkan lingkungan, memperbaiki infrastruktur desa, atau membantu sesama dalam waktu sulit. Ini adalah contoh konkret dari bagaimana masyarakat saling menghormati dan bekerja bersama demi kepentingan bersama.
- Respek terhadap Budaya Lain: Masyarakat Bali juga dikenal karena menghormati dan menghargai budaya dan kepercayaan yang berbeda. Mereka memperlakukan wisatawan dan pendatang dengan ramah dan hormat, serta berusaha untuk menjaga lingkungan agar tetap ramah terhadap budaya dan agama mereka.
- Budaya Keluarga yang Solid: Konsep menyama braya juga tercermin dalam hubungan keluarga di Bali. Keluarga-keluarga Bali sering kali sangat terikat satu sama lain dan saling mendukung dalam segala hal. Persaudaraan dan penghargaan terhadap anggota keluarga, tetangga, dan komunitas sangat dijunjung tinggi.
- Adat dan Tradisi: Berbagai upacara adat dan tradisi di Bali juga mencerminkan prinsip menyama braya. Upacara adat sering kali dihadiri oleh seluruh masyarakat, tanpa memandang latar belakang atau status sosial, yang menunjukkan solidaritas dan persatuan dalam kebudayaan Bali.
Dengan demikian, menyama braya adalah prinsip penting dalam budaya Bali yang tercermin dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, menekankan pentingnya toleransi, persaudaraan, dan penghargaan terhadap semua orang.
Menyama Braya merupakan perpaduan dari konsep Tri Hita Karana pada unsur Pawongan, artinya menjaga hubungan baik antar manusia. Tat Twam Asi (aku adalah kamu dan kamu adalah aku), Wasudewa Khutumbhakam (kita semua bersaudara), segilik seguluk selulung sebayantaka, paras paros sarpanaya, saling asah, asih, asuh (bersatu padu, menghargai pendapat orang lain, saling mengingatkan, menyayangi, dan tolong menolong).
Seluruh konsep inilah yang melandasi cara berpikir dan cara bersikap masyarakat Bali, sehingga mampu hidup harmonis dalam keberagaman. Masyarakat Bali mempercayai bahwa tradisi Menyama Braya ini akan tetap selalu diterapkan oleh masyarakat Bali karena melihat bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang seharusnya menjaga hubungan baik antar sesama umat beragama dan tidak menjadikan perbedaan sebagai penghalang untuk tetap menciptakan masyarakat yang rukun, harmonis, dan saling menghormati.
Sumber referensi:
Hofstede, G. (2001). Culture’s Consequences: Comparing Values, Behaviors, Institutions and Organizations Across Nations. Sage Publications.
Bennett, M. J. (1998). Intercultural Communication: A Current Perspective. In Intercultural Communication: A Reader (pp. 13-34). Routledge.
Berry, J. W. (1997). Immigration, Acculturation, and Adaptation. Applied Psychology, 46(1), 5-34.
Triandis, H. C. (1995). Individualism & Collectivism. Westview Press.
Allen, J., & Heritage, J. (Eds.). (2012). Questioning cultures: Conflict, cohesion and change in the era of globalization. Cambridge Scholars Publishing.
Appadurai, A. (1996). Modernity at large: Cultural dimensions of globalization. University of Minnesota Press.
Hannerz, U. (1992). Cultural complexity: Studies in the social organization of meaning. Columbia University Press.
Hofstede, G. (2001). Culture’s consequences: Comparing values, behaviors, institutions and organizations across nations. Sage Publications.
Huntington, S. P. (1996). The clash of civilizations and the remaking of world order. Simon & Schuster.
Inglehart, R., & Baker, W. E. (2000). Modernization, cultural change, and the persistence of traditional values. American sociological review, 65(1), 19-51.
Kroeber, A. L., & Kluckhohn, C. (1952). Culture: A critical review of concepts and definitions. Harvard University Press.
Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.
Smith, A. D. (1991). National identity. University of Nevada Press.
UNESCO. (2001). Universal Declaration on Cultural Diversity. Retrieved from https://en.unesco.org/creativity/sites/creativity/files/declaration_cultural_diversity_en.pdf