Pencegahan Kekerasan Seksual Terhadap Anak Usia Dini (Upaya Mencegah Trauma Dan Melindungi Generasi Mendatang)
Karya : I Putu Yoga Pramana
Ketua Bidang Organisasi PC KMHDI Gorontalo
Anak-anak merupakan aset berharga bagi suatu bangsa. Mereka bukan hanya generasi masa kini, tetapi juga merupakan pilar utama dalam membangun masa depan yang berkelanjutan. Sebagai penerus bangsa, tanggung jawab kita tidak hanya menjaga kesejahteraan mereka saat ini, tetapi juga memastikan bahwa mereka memiliki mental dan bekal yang cukup untuk memimpin bangsa ini ke arah yang lebih baik di masa yang akan dating.
Pelecehan seksual terhadap anak merupakan salah satu kejahatan yang paling merusak dan tragis dalam masyarakat modern. Setiap tahun, banyak anak yang menjadi korban dari tindakan yang merusak ini, meninggalkan dampak psikologis yang mendalam dan trauma yang berkepanjangan. Pentingnya perlindungan anak dari pelecehan seksual tidak dapat dilebih-lebihkan. Dampaknya tidak hanya terbatas pada korban langsung, tetapi juga merusak masa depan mereka dan masyarakat secara keseluruhan. Trauma yang diakibatkan oleh pelecehan seksual dapat mengganggu perkembangan emosional, sosial, dan psikologis anak, serta meninggalkan luka yang mendalam yang mungkin bertahan sepanjang hidup mereka.
Kekerasan seksual terhadap anak usia dini merupakan salah satu tantangan yang sangat serius dalam masyarakat modern. Kecenderungan ini bukan hanya menimbulkan dampak psikologis yang serius pada korban, tetapi juga merusak masa depan mereka. Dalam esai ini, akan di jelaskan terkait bagaimana pencegahan kekerasan seksual terhadap anak usia dini, termasuk pemahaman tentang fenomena ini, faktor risiko, dampaknya, serta upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan lembaga pemerintah.
Kejahatan kekerasan seksual di Indonesia memiliki angka yang tinggi, dan kasus kejahatan ini terjadi pada anak yang usianya masih muda (Lewoleba & Fahrozi, 2020). Berdasarkan data yang dikumpulkan dari Departemen Perencanaan Kesejahteraann, tercatat 21.869.797 jumlah anak yang mengalami kekerasan seksual dari tahun 2010 hingga 2014 yang tersebar di 34 provinsi dan 179 kabupaten dan kota. Selain itu menurut Sensus Penduduk tahun 2011, diperkirakan jumlah anak usia 6-17 tahun adalah 82,7 juta atau sekitar 33,9% dari total seluruh penduduk Indonesia, dengan 51,3% adalah anak perempuan dan 48,7% adalah anak lakilaki.
Di tahun 2013 dilaporkan meningkat menjadi 10 kasus. Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah rentang usia anak yang menjadi korban kasus kekerasan seksual tersebut adalah di bawah 10 tahun (Zakiyah, Prabandari, & Triratnawati, 2016). Dari tahun ke tahun angka kekerasan seksual pada anak semakin meningkat sampai saat ini. Data terakhir berdasarkan Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Nahar mengatakan, sejak Januari hingga 31 Juli 2020 tercatat ada 4.116 kasus kekerasan pada anak di Indonesia.
Dimana jika dirincikan, ada 2.556 korban kekerasan seksual, 1.111 korban kekerasan fisik, 979 korban kekerasan psikis. Kemudian, ada 346 korban pelantaran, 73 korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan 68 korban eksploitasi. Sebanyak 3.296 korban anak perempuan dan 1.319 anak laki-laki (Napitupulu, Y.R., & Julio, B.A., 2023).
Para ahli seperti Elizabeth Letourneau, seorang profesor di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health, menyoroti perubahan sosial dan budaya sebagai faktor utama yang mempengaruhi tingkat pelecehan seksual terhadap anak. Perubahan dalam struktur keluarga, peningkatan mobilitas sosial, dan pergeseran nilai-nilai sosial dapat menciptakan situasi di mana anak-anak lebih rentan terhadap eksploitasi seksual. Pergeseran dalam dinamika keluarga, seperti pekerjaan orang tua yang mengharuskan mereka bepergian jauh atau kurangnya pengawasan langsung, dapat menciptakan celah bagi pelaku pelecehan.
Perkembangan teknologi, terutama internet, telah membuka pintu untuk bentuk pelecehan seksual baru yang lebih tersembunyi. Ahli kriminologi seperti David Finkelhor menyoroti bahwa internet memberikan platform bagi pelaku untuk merancang, menyebarkan, dan melakukan pelecehan seksual terhadap anak tanpa terdeteksi. Pemanfaatan media sosial, daring, dan platform berbagi konten membuat anak-anak lebih rentan terhadap ancaman pelecehan yang dapat merusak kehidupan mereka secara permanen (Dania, E., Dewi, A. E., & Widiyani, H., 2024).
Para ahli psikologi seperti Dr. James Cantor menunjukkan bahwa ketidaksetaraan sosial dapat menjadi pendorong pelecehan seksual. Ketidaksetaraan ekonomi, pendidikan, dan akses terhadap sumber daya dapat menciptakan situasi di mana anak-anak dari keluarga yang kurang mampu menjadi lebih rentan terhadap eksploitasi seksual. Pada saat yang sama, pelaku pelecehan sering kali memanfaatkan ketidaksetaraan kekuasaan untuk memanipulasi dan mendominasi anak-anak yang lebih lemah.
Sejumlah ahli, termasuk para aktivis hak anak seperti ECPAT International, menyoroti lemahnya sistem perlindungan anak sebagai penyebab meningkatnya pelecehan seksual. Birokrasi yang lambat, kurangnya pelatihan bagi petugas penegak hukum, dan ketidakmampuan untuk menanggapi dengan cepat pada laporan pelecehan semuanya menyebabkan perlindungan anak menjadi tidak memadai. Hal ini menciptakan lingkungan di mana pelaku merasa dapat beroperasi tanpa ketakutan akan konsekuensi hukum yang serius (Dania, E., Dewi, A. E., & Widiyani, H., 2024).
Para ahli pendidikan seks seperti Dr. Debra Hauser menegaskan bahwa kurangnya pendidikan seks yang holistik dapat memicu pelecehan seksual. Anak-anak yang tidak mendapatkan pemahaman yang memadai tentang batas-batas fisik dan etika hubungan seksual mungkin lebih rentan terhadap eksploitasi. Sistem pendidikan yang konservatif atau enggan untuk menyertakan topik-topik terkait seks dalam kurikulumnya dapat menciptakan celah pengetahuan yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku pelecehan.
Para peneliti seperti Dr. Gail Dines menunjukkan bahwa pengaruh media dan pornografi dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap budaya pelecehan seksual. Keterpaparan anak-anak terhadap konten seksual yang eksploitatif dan tidak sehat dapat membentuk persepsi yang menyimpang tentang hubungan dan seksualitas. Ini dapat menciptakan siklus di mana anak-anak yang terpapar terlalu dini menjadi lebih rentan terhadap pelecehan (Dania, E., Dewi, A. E., & Widiyani, H., 2024).
Kekerasan seksual dilakukan pada anak karena pelaku melihat posisi anak yang lemah dan lugu. Tahap perkembangan anak umumnyamasih rentan dan belum mengerti banyak hal sehingga seringkali disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kekerasan seksual pada anak dapat terjadi dari tidak adanya kesempatan yang dimiliki pelaku untuk memenuhi kebutuhan seksualnya dan tidak dapat mempertahankan privacy. Faktor yang menjadi penyebab kekerasan seksual pada anak diantaranya :
- Perubahan hormon oleh pelaku
- Perkembangan teknologi
- Perubahan gaya hidup
- Sosial budaya yang mempengaruhie.Minimnya pengetahuan masyarakat mengenai kekerasan seksual
Faktor lain yang menyebabakan terjadinya kekerasan seksual pada anak diantaranya seperti faktor budaya patriarki, konflik antar budaya, faktor internal yang dimiliki pelaku, tingkat control masyarakat rendah, dan adanya patologi dalam keluarga.
Kekerasan seksual yang dilakukan pada anak akan berdampak dari sisi biologis dan sosialnya. Dari sisi biologis, anak akan mengalami gangguan pada organ-organ vital karena telah dipaksa melakukan aktivitas seksual. Kemudian dari sisi sosialnya, anak akan merasa mudah terintimidasi sehingga anak merasa kurang percaya diri.
Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual cenderung akan lebih tertutup karena mereka takut akan ancaman-ancaman yang diberikan pelaku. Mereka akan merahasiakan peristiwa tersebut dari orang disekitarnya. Selain itu, anak merasa malu untuk menceritakan hal tersebut dan menganggap yang sudah terjadi pada dirinya adalah sebuah kesalahan yang ia perbuat.
- Dampak Psikologis
Kekerasan seksual menurut WHO akan berdampak pada kesehatan mental anak sebagai korban. Hal ini disebabkan karena umumnya pelaku dan korban hidup di satu lingkungan yang sama sehingga mereka cenderung akan mengalami depresi, fobia, dan mengalami kecurigaan pada oranglain dalam waktu yang lama.
- Dampak Fisik
Ketika seorang anak mengalami fenomena kekerasan seksual, maka akan berpengaruh pada perubahan fisiknya. Anak akan mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan otak dan mengalami kerusakan di organ-organ internalnya.
- Dampak Sosial
Fenomena ini merupakan hal yang tidak biasa di lingkungan masyarakat sehingga jika kekerasan seksual ini terjadi akan menimbulkan berbagai pandangan negative dari masyarakat. Pandangan-pandangan ini membuat masyarakat dapat memberikan sebuah label kepada korban bahwa mereka sengaja menggunakan pakaian-pakaian yang terbuka dan mengundang nafsu seksual pelaku. Dengan begini, korban akan sulit untuk melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya karena korban cenderung akan dikucilkan.
Sebagai masyarakat sekaligus mahasiswa Hindu di Indonesia tentunya kita harus turut berpartisipasi dalam upaya pencegahan kejahatan seksual terhadap anak usia dini, mengingat anak-anak sebagai generasi penerus bangsa Indonesia di hari mendatang. Dalam undang-undang republik Indonesia Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, juga di jelaskan bahwa masyarakat adalah perseorangan, Keluarga, kelompok organisasi sosial, dan/atau organisasi kemasyarakatan, termasuk lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat.
Beberapa upaya yang kiranya dapat dilakukan KMHDI sebagai upaya pencegahan kejahatan seksual terhadap anak yaitu sebagai berikut:
- Kampanye Edukasi
KMHDI dapat mengorganisir kampanye edukasi di lingkungan kampus dan komunitas sekitarnya untuk meningkatkan pemahaman tentang kejahatan seksual pada anak. Kampanye ini dapat mencakup penyuluhan, seminar, workshop, dan kegiatan lainnya yang bertujuan untuk menyebarkan informasi tentang tanda-tanda kejahatan seksual, dampaknya, serta cara melindungi anak-anak dari risiko kejahatan tersebut.
- Pendidikan Seksual
menyelenggarakan program pendidikan seksual yang sehat bagi anak-anak dan remaja. Program ini dapat mencakup pembelajaran tentang hubungan interpersonal yang sehat, penghargaan terhadap tubuh sendiri dan orang lain, serta pentingnya melaporkan segala bentuk pelecehan seksual yang dialami.
- Pengawasan dan Pemantauan
KMHDI dapat melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap lingkungan di sekitar kampus dan komunitasnya untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual pada anak. Hal ini meliputi pengawasan terhadap aktivitas anak-anak, pengawasan terhadap penggunaan teknologi, serta melaporkan tindakan mencurigakan kepada pihak berwenang.
- Kerjasama dengan Pihak Berwenang
menjalin kerjasama dengan pihak berwenang, lembaga perlindungan anak, dan organisasi non-pemerintah lainnya untuk meningkatkan efektivitas upaya pencegahan dan penanganan kejahatan seksual pada anak. Kerjasama ini dapat mencakup pertukaran informasi, penyelenggaraan kegiatan bersama, serta dukungan dalam penegakan hukum dan rehabilitasi korban.
Dengan melakukan berbagai upaya ini, KMHDI dapat berperan aktif dalam pencegahan kejahatan seksual pada anak, memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan anak-anak dan masyarakat secara keseluruhan, serta mewujudkan nilai-nilai kepedulian dan perlindungan yang menjadi bagian dari ajaran Hindu.
Kekerasan seksual pada anak terjadi karena pelaku melihat posisi anak yang lemah dan lugu, serta karena masih rentannya tahap perkembangan anak. Kekerasan seksual pada anak memiliki dampak yang serius, baik dari sisi biologis maupun sosial. Sebagai masyarakat dan mahasiswa Hindu di Indonesia, KMHDI dapat berperan dalam upaya pencegahan kejahatan seksual terhadap anak.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain mengadakan kampanye edukasi, menyelenggarakan pendidikan seksual yang sehat, melakukan pengawasan dan pemantauan lingkungan, serta menjalin kerjasama dengan pihak berwenang dan lembaga perlindungan anak. Dengan melakukan upaya-upaya tersebut, KMHDI dapat aktif melindungi anak-anak dan masyarakat secara keseluruhan, serta mewujudkan nilai-nilai kepedulian dan perlindungan yang terkandung dalam ajaran Hindu.
Cek Informasi Menarik Lainnya Hanya di
CityZen
DAFTAR PUSTAKA
Diana, E., Dewi, A. E., & Widiyani, H. (2024). Perlindungan Anak: Mencegah dan Menanggulangi Pelecehan Seksual terhadap Anak di Bawah Umur. SYARIAH: Jurnal Ilmu Hukum, 1(2), 102-108.
Lewoleba, K. K., & Fahrozi, M. H. (2020). Studi faktor-faktor terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak-anak. Jurnal Esensi Hukum, 2(1), 27-48.
Napitupulu, Y. R., & Julio, B. A. (2023). Pelecehan Seksual Anak Di Bawah Umur Pada Anak Indonesia. Jurnal Multidisiplin Indonesia, 2(10), 3088-3095.
Octaviani, F., & Nurwati, N. (2021). Analisis Faktor Dan Dampak Kekerasan Seksual Pada Anak. Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial HUMANITAS, 3(2), 56-60.
Zakiyah, R., Prabandari, Y. S., & Triratnawati, A. (2016). Tabu, hambatan budaya pendidikan seksualitas dini pada anak di Kota Dumai. Berita Kedokteran Masyarakat, 32(9), 323-330.