Bahaya Dampak Dan Upaya Pencegahan Cyberbullying Di Kalangan Remaja

Oleh: Dini Ariska

Ketua Bidang Kaderisasi PC KMHDI Gorontalo

POHALAA.COM-Kemajuan teknologi dan informasi telah membawa perubahan signifikan dalam banyak aspek kehidupan, termasuk interaksi sosial. Internet, sebagai hasil dari kemajuan ini, memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat di bidang sosial, pendidikan, dan bisnis. Perkembangan ini juga melahirkan banyak platform media sosial yang digunakan untuk berinteraksi antara individu dan kelompok. Namun, di balik keuntungan tersebut, muncul ancaman serius berupa cyberbullying, yang sering kali melibatkan remaja sebagai pelaku maupun korban.

Di Indonesia, cyberbullying menjadi masalah yang semakin serius, terutama di kalangan remaja. Menurut survei yang dilakukan pada tahun 2021-2024, sekitar 45% remaja di Indonesia pernah menjadi korban cyberbullying, sementara 38% di antaranya pernah melakukan tindakan sebagai pelaku cyberbullying. Bentuk-bentuk cyberbullying yang paling umum adalah penyebaran gosip, fitnah, dan pengucilan di platform seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook.

Remaja laki-laki lebih sering terlibat dalam perilaku pelecehan langsung, sementara remaja perempuan lebih sering terlibat dalam penyebaran fitnah dan pengucilan. Faktor sosial, seperti jumlah pengikut di media sosial, juga memainkan peran besar dalam fenomena ini. Mereka yang memiliki lebih banyak pengikut cenderung merasa lebih berkuasa untuk melakukan intimidasi, sementara korban biasanya merasa kurang memiliki dukungan sosial.

Secara hukum, cyberbullying didefinisikan sebagai tindakan merendahkan dan mengintimidasi seseorang melalui media digital, yang meliputi fitnah, penghinaan, dan ancaman. Tindakan ini dapat menyebabkan gangguan psikologis pada korban dan lebih berbahaya karena bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja.

Di Indonesia, bullying diatur melalui beberapa peraturan dan undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak dan hak asasi manusia. Beberapa peraturan penting tentang bullying antara lain:

  1. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
    Dalam UU ini, pasal 76C menyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Bullying, termasuk kekerasan fisik, verbal, dan psikis, dianggap sebagai pelanggaran terhadap perlindungan anak dan dapat dikenakan sanksi hukum.
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
    Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebutkan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja mendistribusikan atau mentransmisikan informasi yang bersifat penghinaan atau pencemaran nama baik. Ini mencakup tindakan cyberbullying, di mana pelaku dapat dikenakan sanksi pidana dan denda.
  3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
    Meskipun lebih banyak fokus pada bullying di tempat kerja, UU ini melindungi pekerja dari intimidasi atau kekerasan fisik dan psikologis di lingkungan kerja.
  4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan
    Peraturan ini menegaskan bahwa sekolah harus berperan aktif dalam mencegah, menangani, dan memberikan sanksi terhadap segala bentuk kekerasan, termasuk bullying, yang terjadi di lingkungan sekolah

Cyberbullying dapat dilakukan oleh berbagai individu, tetapi kelompok tertentu lebih sering dikaitkan dengan perilaku ini, terutama kaum muda dan remaja. Motivasi untuk terlibat dalam cyberbullying bervariasi dan dapat mencakup impulsivitas, keinginan untuk merasakan kegembiraan, dan pencarian popularitas online. Banyak individu yang berpartisipasi dalam cyberbullying mungkin kurang empati, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk menyebabkan kerugian tanpa sepenuhnya memahami dampak emosional pada korban mereka.

Selain itu, mereka yang mengalami perundungan, baik secara online maupun offline, dapat membalas dengan menjadi pelaku cyberbullying, sehingga memperpetuasi siklus kekerasan. Perilaku ini sering dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kecanduan media sosial, yang dapat mendistorsi harga diri individu dan mengarah pada masalah kesehatan mental negatif, mendorong mereka untuk mencari validasi atau kekuasaan melalui tindakan yang merugikan.

Jenis-Jenis Cyberbullying :

  1.  Fraping, Fraping adalah tindakan akses ilegal ke akun media sosial orang lain tanpa izin, di mana pelaku menyamar sebagai pemilik akun untuk mengunggah konten yang merugikan, seperti yang bersifat memalukan atau menyesatkan. Tindakan ini dapat merusak reputasi korban, menyebabkan hilangnya kepercayaan, dan berdampak negatif pada kesehatan emosional mereka. Untuk mencegah fraping, penting bagi pengguna untuk mengamankan akun mereka dengan kata sandi yang kuat dan otentikasi dua faktor. Di Indonesia, fraping diatur dalam Undang-Undang ITE sebagai pelanggaran yang dapat dikenai sanksi hukum, melindungi korban dari penyalahgunaan akses dan konten digital yang merugikan.
  2. Outing, Mengasingkan (outing) adalah bentuk bullying di mana seseorang sengaja diabaikan atau dikeluarkan dari suatu kelompok, baik secara fisik maupun digital, serta dapat melibatkan penyebaran informasi pribadi korban tanpa izin. Tindakan ini merusak harga diri korban, menyebabkan perasaan terpinggirkan, dan dapat memicu masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan. Dalam konteks digital, dampaknya bisa lebih luas karena informasi cepat menyebar. Untuk mencegah outing, penting untuk mempromosikan inklusi, menjaga privasi, dan menyediakan mekanisme di komunitas atau platform digital untuk menangani perilaku pengucilan serta penyebaran informasi pribadi yang merugikan.
  3. Dissing, Dissing adalah bentuk intimidasi digital di mana seseorang membagikan informasi negatif atau menghina tentang orang lain untuk merusak reputasi dan hubungan sosial mereka. Biasanya dilakukan melalui media sosial atau platform daring, dissing dapat berupa komentar, gambar, atau video yang mempermalukan korban. Dampaknya sangat serius, termasuk gangguan emosional, stres, depresi, dan isolasi sosial, terutama karena informasi negatif dapat menyebar dengan cepat di dunia digital. Untuk mencegah dissing, penting untuk mempromosikan perilaku positif, edukasi etika penggunaan media sosial, serta penerapan kebijakan yang jelas oleh platform digital untuk menangani tindakan ini dan mendukung korban.
  4. Cyberstalking, Cyberstalking adalah bentuk pelecehan digital di mana pelaku secara terus-menerus mengawasi dan mengintimidasi korban melalui platform online seperti media sosial, email, dan forum. Tindakan ini mencakup pengiriman pesan berulang, penyebaran informasi pribadi, dan pemantauan aktivitas online korban. Dampaknya dapat sangat merusak, menyebabkan kecemasan, depresi, dan gangguan stres pasca-trauma, serta merusak kehidupan sosial dan emosional korban. Untuk mencegah cyberstalking, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang keamanan online dan etika media sosial, serta bagi platform digital untuk menyediakan mekanisme pelaporan dan dukungan bagi korban.
  5. Trolling, Trolling adalah tindakan sengaja mengunggah komentar atau konten provokatif untuk memicu reaksi emosional dan keributan di dunia maya. Pelaku trolling sering kali menikmati respons negatif yang ditimbulkan dan bersembunyi di balik anonimitas internet. Dampaknya dapat merugikan korban, menyebabkan stres dan kecemasan, serta menciptakan suasana tidak bersahabat di ruang digital. Trolling juga bisa memicu konflik dan penyebaran informasi keliru. Untuk mengatasi masalah ini, penting untuk tidak memberi respons berlebihan terhadap provokasi, serta bagi platform digital untuk menyediakan mekanisme pelaporan dan sanksi terhadap pelaku. Kesadaran akan dampak negatif trolling perlu ditingkatkan agar tercipta lingkungan online yang lebih positif.
  6. Flaming, Flaming adalah perilaku di dunia maya yang melibatkan pengiriman komentar atau pesan emosional yang sering kali berisi serangan verbal, dengan tujuan untuk menyerang atau memprovokasi orang lain. Dampak dari flaming dapat merugikan komunitas online secara signifikan. Tindakan ini dapat menciptakan suasana yang tidak bersahabat dan merusak interaksi antar anggota komunitas. Korban flaming sering mengalami dampak emosional yang berat, seperti merasa terancam atau tidak nyaman saat berpartisipasi dalam diskusi.
  7. Doxing, Doxing adalah tindakan membocorkan informasi pribadi seseorang, seperti alamat atau nomor telepon, tanpa izin, yang bertujuan untuk menakut-nakuti, menghukum, atau merusak reputasi korban. Praktik ini dapat terjadi di berbagai platform digital dan sering kali melibatkan pengumpulan data dari sumber terbuka atau cara yang tidak etis. Dampaknya sangat merugikan, karena dapat mengancam keselamatan korban, menyebabkan kecemasan, ketakutan, dan membuka peluang bagi perundungan siber atau pelecehan fisik. Untuk mencegah doxing, penting bagi pengguna internet untuk berhati-hati dalam membagikan informasi pribadi dan bagi platform digital untuk menegakkan kebijakan yang melindungi pengguna. Doxing juga dapat dikenakan sanksi hukum di banyak negara, sehingga tindakan ini harus ditanggapi serius.

Dampak Cyberbullying

Masa remaja adalah periode yang penuh dinamika dan perubahan. Dengan meningkatnya penggunaan teknologi informasi, remaja sekarang dapat menghabiskan waktu hingga lima jam per minggu di internet. Meskipun ini memberikan pengalaman baru, hal ini juga meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku negatif seperti cyberbullying.

Dampak bagi Korban:

  • Menarik diri dari lingkungan sosial

Cyberbullying dapat memberikan dampak yang mendalam pada individu, salah satunya adalah kecenderungan untuk menarik diri dari lingkungan sosial. Korban yang mengalami perundungan siber sering kali merasa terasing, sehingga mereka cenderung menghindari interaksi dengan teman-teman dan keluarga. Perasaan malu, ketakutan, dan kecemasan yang muncul dari pengalaman buruk ini dapat membuat mereka merasa tidak nyaman dalam situasi sosial, yang mendorong mereka untuk mengisolasi diri. Dalam banyak kasus, mereka mungkin mengurangi waktu di media sosial atau bahkan menonaktifkan akun mereka sepenuhnya, yang pada gilirannya mengurangi jaringan dukungan sosial mereka.

Penarikan diri dari lingkungan sosial ini tidak hanya berdampak pada hubungan interpersonal, tetapi juga dapat memengaruhi perkembangan emosional dan kesehatan mental korban. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang terisolasi memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan mental, seperti depresi dan kecemasan. Kekurangan dukungan sosial dapat memperburuk keadaan mereka, mengingat mereka merasa tidak memiliki ruang untuk berbagi perasaan atau mencari bantuan, sehingga situasi tersebut semakin rumit.

Dukungan dari teman sebaya dan lingkungan sosial merupakan elemen penting dalam proses pemulihan bagi korban cyberbullying. Menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif dapat membantu mendorong individu yang terpengaruh untuk kembali berinteraksi dengan orang-orang di sekitar mereka. Oleh karena itu, intervensi dari orang terdekat, termasuk keluarga dan teman, serta peningkatan kesadaran mengenai dampak negatif cyberbullying, sangat diperlukan untuk membantu individu yang mengalami penarikan diri. Dengan dukungan yang tepat, mereka dapat memulihkan kepercayaan diri dan membangun kembali hubungan sosial yang mungkin telah hilang.

  • Merasa dikucilkan

Cyberbullying dapat membawa dampak yang serius, salah satunya adalah perasaan terasing dari lingkungan sosial. Banyak korban merasa diabaikan oleh teman-teman sebayanya dan mungkin mengalami tindakan negatif dari orang-orang di sekitar mereka. Rasa keterasingan ini bisa membuat mereka merasa terisolasi dan tidak diterima, yang berdampak pada kepercayaan diri dan harga diri mereka. Penelitian menunjukkan bahwa perasaan dikucilkan dapat memicu masalah emosional yang lebih dalam, seperti kecemasan dan depresi, karena mereka tidak memiliki jaringan dukungan sosial yang cukup.

Perasaan dikucilkan ini tidak hanya berdampak pada kondisi mental, tetapi juga dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk prestasi akademis dan hubungan pribadi. Ketika seseorang merasa tidak diterima, mereka mungkin kehilangan semangat untuk terlibat dalam kegiatan sosial atau akademik. Ini dapat berujung pada penurunan kinerja di sekolah atau tempat kerja dan menyulitkan mereka untuk membangun hubungan yang sehat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang merasa terasing lebih cenderung menghindari interaksi sosial, menciptakan siklus isolasi yang sulit untuk diatasi.

Untuk membantu mereka yang merasa dikucilkan akibat cyberbullying, sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung. Teman, keluarga, dan pendidik perlu aktif memberikan dukungan kepada korban perundungan siber. Meningkatkan kesadaran tentang dampak negatif dari bullying dan mendidik masyarakat tentang pentingnya empati dan dukungan dapat membantu mengurangi perasaan terasing. Dengan dukungan yang tepat, individu yang terpengaruh dapat merasa lebih diterima, mengembalikan kepercayaan diri mereka, dan mulai membangun kembali hubungan sosial yang hilang.

  • Mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental

Cyberbullying dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental korban. Banyak individu yang mengalami perundungan siber melaporkan peningkatan gejala stres, kecemasan, dan depresi. Penelitian menunjukkan bahwa para korban sering kali menghadapi gangguan tidur, sakit kepala, dan masalah pencernaan akibat tekanan psikologis yang mereka rasakan. Ketidakpastian dan ketakutan yang berkepanjangan ini dapat memperburuk kondisi kesehatan fisik secara keseluruhan, menjadikan mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit.

Dampak mental dari cyberbullying tidak jarang berlangsung hingga dewasa, memengaruhi bagaimana individu berinteraksi dengan orang lain dan membangun hubungan. Banyak korban merasa terasing, kehilangan rasa percaya diri, dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan sosial. Penelitian menunjukkan bahwa ketidakmampuan untuk mempercayai orang lain sering kali membuat korban menjauh dari interaksi sosial yang positif, sehingga menciptakan isolasi yang lebih dalam. Siklus negatif ini dapat menjadi tantangan besar untuk dipecahkan, mempersulit individu untuk mencari dukungan yang mereka butuhkan.

Penting untuk memberikan dukungan psikologis kepada korban cyberbullying untuk mengatasi dampak yang dialami. Dukungan dari teman, keluarga, dan profesional kesehatan mental sangat vital dalam membantu individu pulih dari pengalaman traumatis tersebut. Selain itu, meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental di masyarakat menjadi langkah penting agar orang-orang dapat mengenali tanda-tanda masalah yang dialami oleh korban dan memberikan bantuan yang diperlukan. Dengan langkah-langkah yang tepat, korban dapat lebih mudah mengatasi dampak negatif dari cyberbullying, serta memperbaiki kesehatan fisik dan mental mereka.

  • Risiko depresi dan keinginan untuk bunuh diri

Dampak dari cyberbullying dapat memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan mental korban, termasuk peningkatan risiko depresi dan keinginan untuk bunuh diri. Penelitian menunjukkan bahwa individu yang mengalami perundungan siber sering merasa putus asa dan terjebak dalam kondisi emosional yang menyakitkan. Korban cyberbullying lebih mungkin mengalami gangguan depresi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlibat dalam perundungan tersebut. Rasa sakit yang ditimbulkan dari tindakan bullying online dapat begitu berat sehingga menimbulkan pikiran untuk mengakhiri hidup

Dampak psikologis ini juga membuat korban merasa terasing dari lingkungan sosial dan kehilangan dukungan emosional. Banyak individu yang mengalami perundungan merasa kesulitan untuk berbagi pengalaman mereka, yang menyebabkan kondisi mental mereka semakin memburuk. Sebuah studi oleh The Trevor Project menemukan bahwa remaja yang menjadi korban bullying, baik secara online maupun offline, memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri. Ketidakmampuan untuk berkomunikasi mengenai rasa sakit yang mereka alami sering kali memperparah perasaan terisolasi dan putus asa.

Untuk mengatasi masalah serius ini, penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi korban cyberbullying. Dukungan dari keluarga, teman, dan profesional kesehatan mental dapat menjadi kunci untuk membantu individu mengatasi perasaan depresi dan keinginan untuk bunuh diri. Masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran tentang kesehatan mental dan mendidik diri sendiri mengenai tanda-tanda peringatan yang mungkin muncul. Dengan memberikan dukungan yang tepat dan akses ke sumber daya yang dibutuhkan, kita dapat membantu individu menemukan harapan dan memperbaiki kualitas hidup mereka setelah mengalami perundungan siber.

Upaya Pencegahan Cyberbullying

  1. Dari Pemerintah
    Pemerintah memiliki peran penting dalam pencegahan cyberbullying dengan menginisiasi program edukasi yang menekankan perilaku online yang positif. Program ini harus mencakup pemahaman tentang dampak negatif cyberbullying, cara melindungi diri di dunia maya, serta kebijakan yang mendukung perlindungan remaja. Kerja sama dengan perusahaan teknologi untuk menciptakan alat yang efektif dalam mendeteksi dan menangani cyberbullying sangat penting. Selain itu, pemerintah harus menyediakan dukungan psikologis untuk korban melalui layanan konseling yang mudah diakses.
  2. Dari Dunia Pendidikan
    Sekolah dapat memasukkan pendidikan karakter dan literasi digital ke dalam kurikulum untuk membantu siswa memahami etika online, empati, dan tanggung jawab di dunia maya. Kegiatan seperti seminar, lokakarya, dan kampanye sosial akan meningkatkan kesadaran tentang cyberbullying dan memberikan platform bagi siswa untuk berbagi pengalaman dan mendiskusikan masalah ini. Setiap sekolah juga perlu memiliki kebijakan tegas mengenai cyberbullying yang mencakup prosedur pelaporan yang aman dan tindakan disipliner bagi pelaku.
  3. Dari Orang Tua
    Orang tua harus membangun komunikasi yang terbuka dengan anak-anak tentang pengalaman mereka di dunia maya. Ini termasuk mengedukasi mereka tentang literasi digital, etika penggunaan internet, dan cara melindungi privasi. Selain itu, orang tua perlu terlibat dalam mengawasi aktivitas online anak-anak mereka tanpa melanggar privasi mereka, seperti dengan mengatur waktu penggunaan perangkat dan memeriksa platform yang diakses.
  4. Dari Teman Sebaya
    Teman sebaya memainkan peran penting dalam pencegahan cyberbullying. Mereka dapat menciptakan budaya saling menghormati dan berempati di antara satu sama lain, serta saling mendukung untuk melawan perilaku negatif. Teman sebaya juga dapat mengingatkan satu sama lain tentang bahaya cyberbullying dan cara menanggulanginya, serta mempromosikan penggunaan media sosial yang positif dan konstruktif.

Pencegahan cyberbullying memerlukan kolaborasi antara individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Melalui edukasi, kesadaran, dan dukungan yang kuat, kita dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan mendukung bagi remaja. Sebagai bagian dari upaya ini, organisasi seperti KMHDI dapat memainkan peran penting dalam mengedukasi remaja dan mendorong kampanye anti-cyberbullying untuk meningkatkan kesadaran dan menciptakan budaya yang saling melindungi di dunia maya.

Sumber Referensi

Shafa Yuandina Sekarayu.,& Meilanny Budiarti Santoso. (2022). Remaja Sebagai Pelak CYBERBULLYING dalam Media Sosial. Jurnal penelitian dan pengabdian masyarakat(JPPM). Vol.3 No.1. Hal  1-10

Iedam F., Syarif H., Aresti S. D  , Risan V., & Selvi Y., Fenomena Cyber Bullying dalam kehidupan remaja. Jurnal sosial&Abdimas. Hal. 26-32. Http://ejurnal.ars.ac.id/index.php/jsa

Ali, M., & Asrori. (2011). Psikologi Remaja- Perkembangan Peserta Didik. Cetakan ketujuh. Jakarta: Bumi Aksara.

Bakhtiar, Y. (2017). Kebijakan Hukum Pidana dalam Penyelesaian Kekerasan Bullying di Sekolah. LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana Dan Politik Hukum, 6(1). https://doi.org/10.22373/legitimasi.v6i1.1846

Ferna L.S. (2022). Kebijakan Hukum Pidana dalam perkasa bullying pada anak yang berimplikasi pada tindak pidana. Volume 5 No. 1. Hal. 1-10

Pandie, M. M., & Weismann, I. T. J. (2016). Pengaruh Cyberbullying Di Media Sosial Terhadap Perilaku Reaktif Sebagai Pelaku Maupun Sebagai Korban Cyberbullying Pada Siswa Kristen SMP Nasional Makassar. Jurnal Jaffray, 14(1), 43–62.