
Suara Rakyat Desa Bongo 4 Terhadap PT A.A Surya
GORONTALO, 8 Juli 2024 – Dua belas tahun setelah masuknya perusahaan kelapa sawit ke Desa Bongo IV dan Bualo, Gorontalo, para petani setempat mengungkapkan kekecewaan mendalam terkait realisasi perjanjian kemitraan. Dalam wawancara eksklusif, dua petani, I Wayan Rauh dan Si Putu Diantara, membagikan pengalaman mereka yang mencerminkan situasi yang dihadapi banyak petani di daerah tersebut.
Pak I Wayan rauh atau biasa di panggil (pak mangku rauh), seorang petani di desa Bongo IV menjelaskan bahwa perusahaan sawit masuk ke desa mereka pada tahun 2012, menawarkan sistem kemitraan inti plasma dengan skema bagi hasil yang menjanjikan. “Mereka memaparkan sistem inti plasma dengan pembagian 50/50. Untuk inti, hasilnya masuk semuanya ke perusahaan, sementara plasma adalah bagian untuk petani,” jelas Pak Wayan. Ia menambahkan, “Mereka menjanjikan kebun sawit bisa berproduksi dalam usia 3-5 tahun.”
Namun, realitasnya jauh dari harapan. Meski kebun telah berbuah, banyak yang terbengkalai, mengakibatkan hasil yang tidak sesuai dengan perjanjian awal. “Kenyataannya, kebanyakan kebun terbengkalai sehingga hasilnya tidak sesuai dengan harapan dan perjanjian pada saat sosialisasi di tahun 2012,” ungkap Pak Wayan dengan nada kecewa.
Pak Wayan, yang menyerahkan lahan seluas 11,6 hektar dengan kontrak selama 35 tahun, mengungkapkan bahwa pembagian hasil yang diterimanya sangat minim dan tidak teratur. “Terkadang hanya tiga bulan sekali, itu pun tidak menentu. Nominalnya hanya berkisar Rp800.000 dari tanah seluas 11,6 hektar,” keluhnya.
Si Putu Diantara, dengan lahan yang lebih kecil yaitu 3 hektar, menghadapi masalah serupa. Meski lahannya dirawat, hingga kini belum ada kejelasan mengenai pembagian hasil. “Sampai saat ini belum ada kejelasan perihal pembagiannya,” ujar petani yang akrab di panggil Ajik Ngurah. Ia menduga kesulitan perusahaan pada masa panen mungkin menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Kedua petani menyuarakan harapan yang sama:
1. Pengelolaan kebun yang maksimal oleh perusahaan.
2. Pembagian hasil yang sesuai dengan perjanjian awal.
3. Perawatan lahan yang konsisten.
4. Implementasi penuh dari surat perjanjian yang telah disepakati.
“Harapan kami selaku petani agar pihak perusahaan itu mengelola kebun tersebut dengan maksimal dan memberikan petani bagi hasil yang sesuai dengan perjanjian awal,” tegas Pak Wayan, mewakili suara banyak petani di daerahnya.
Situasi ini menggambarkan kompleksitas hubungan antara petani lokal dan perusahaan sawit, serta pentingnya transparansi dan pemenuhan komitmen dalam kemitraan agribisnis. Kasus ini juga menyoroti pentingnya pengawasan berkelanjutan terhadap perjanjian kemitraan jangka panjang dalam sektor perkebunan.
Dengan masih tersisa 23 tahun dari kontrak 35 tahun yang disepakati, para petani berharap ada perbaikan signifikan dalam pengelolaan dan pembagian hasil perkebunan sawit demi kesejahteraan masyarakat setempat. Mereka juga mengharapkan adanya dialog terbuka antara petani, perusahaan, dan pemerintah setempat untuk menyelesaikan permasalahan ini.
https://pohalaa.com/category/news/