Menko PMK Setuju Bayar UKT Pakai Pinjol, KMHDI: Menjerumuskan Mahasiswa sebagai Bentuk Logical Fallacy
Jakarta – Keputusan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) yang mengizinkan pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) menggunakan pinjaman online (pinjol) telah menimbulkan gelombang protes dari berbagai pihak. Salah satu yang paling vokal adalah Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), yang melihat kebijakan ini sebagai jebakan berbahaya bagi mahasiswa dan berpotensi menjadi bom waktu di masa depan.
Gde Bayu Pangestu AW, Bendahara Umum Pengurus Pusat KMHDI, menyampaikan kritik tajam terhadap keputusan tersebut. Menurutnya, penggunaan pinjol untuk membayar UKT adalah tindakan yang sangat berisiko dan berbahaya bagi mahasiswa yang sering kali tidak memiliki kapasitas finansial untuk membayar kembali pinjaman tersebut.
“Jika pinjol digunakan untuk membayar uang kuliah, ini akan menjadi jebakan berbahaya bagi mahasiswa. Beban risiko yang ditanggung sangat besar karena mereka harus membayar bunga yang tinggi, sementara banyak mahasiswa tidak memiliki kemampuan finansial untuk melunasinya,” ujar Bayu dalam pernyataannya.
Bayu menambahkan bahwa kebijakan ini bukan hanya mencerminkan kurangnya pemahaman akan realitas ekonomi mahasiswa, tetapi juga dapat memicu masalah serius lainnya. Misalnya, mahasiswa bisa kehilangan fokus pada studi mereka karena harus bekerja untuk membayar pinjaman, yang pada gilirannya mengganggu prestasi akademik mereka. Hal ini, menurut Bayu, menunjukkan bahwa Menko PMK kurang serius dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan menyediakan peluang kerja yang memadai bagi para mahasiswa.
“Sederhananya, Menko PMK mengajak mahasiswa berpikir sempit. Ini merupakan bentuk logical fallacy atau kesesatan berpikir. seolah-olah lepas tangan dengan permasalahan pendidikan di negeri ini,” tegas Bayu. “Menyerahkan solusi pembiayaan pendidikan ke pinjol adalah langkah yang tidak bertanggung jawab dan tidak berkelanjutan.”
Kritik terhadap kebijakan ini juga datang dari berbagai pakar pendidikan dan aktivis mahasiswa lainnya. Mereka menyebutkan bahwa membiarkan mahasiswa terjerat pinjaman dengan bunga tinggi adalah tindakan yang tidak adil dan memperburuk ketimpangan sosial ekonomi. Banyak yang berpendapat bahwa solusi yang ditawarkan Menko PMK bukanlah solusi yang tepat dan justru memperparah masalah.
Dampak Jangka Panjang dan Risiko Finansial
Penggunaan pinjol untuk membayar UKT dapat memberikan dampak jangka panjang yang signifikan. Bunga yang tinggi dan persyaratan pembayaran yang ketat sering kali menjadi beban tambahan yang berat bagi mahasiswa. Selain itu, jika mahasiswa gagal membayar pinjaman tepat waktu, mereka bisa terjebak dalam lingkaran utang yang sulit untuk diatasi.
Bayu menekankan bahwa mahasiswa harus fokus pada pendidikan mereka dan bukan pada upaya untuk melunasi pinjaman dengan bunga tinggi. “Mahasiswa seharusnya bisa belajar dan mengejar impian mereka tanpa harus dibebani dengan utang yang berpotensi merusak masa depan mereka,” katanya. “Kita perlu solusi yang lebih cerdas dan bertanggung jawab untuk masalah pembiayaan pendidikan.”
Selain itu, Bayu juga menunjukkan bahwa kebijakan ini mencerminkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah pendidikan di Indonesia. Menurutnya, Menko PMK harus lebih fokus pada peningkatan kualitas pendidikan dan penciptaan peluang kerja yang lebih baik bagi mahasiswa.
Mencontoh Sistem Pembiayaan Pendidikan dari Negara Lain
Bayu menyarankan agar Indonesia mencontoh sistem pembiayaan pendidikan dari negara-negara lain yang telah berhasil mengatasi masalah ini. Ia mencontohkan Australia, yang memiliki sistem student loan yang dianggap lebih berkelanjutan dan adil. Sistem tersebut memungkinkan mahasiswa untuk melanjutkan studi tanpa harus terbebani oleh biaya pendidikan yang tinggi.
“Bangsa ini perlu belajar dari negara tetangga seperti Australia mengenai sistem pembiayaan kuliah, seperti student loan yang hadir memberikan solusi bagi mereka yang ingin melanjutkan studi Strata 1, 2, 3, bahkan diploma,” jelas Bayu. “Kita perlu solusi yang memungkinkan mahasiswa untuk fokus pada pendidikan mereka tanpa harus khawatir tentang bagaimana mereka akan membayar biaya kuliah.”
Sistem pembiayaan pendidikan yang baik, menurut Bayu, adalah yang memberikan akses yang adil kepada semua mahasiswa tanpa membebani mereka dengan utang yang tidak terkendali. Hal ini penting untuk memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945.
Mengelola Pendidikan dengan Pendekatan Progresif
Untuk mencapai tujuan tersebut, Bayu menekankan pentingnya pengelolaan pendidikan di Indonesia oleh individu-individu yang progresif dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang kemajuan pendidikan. Ia percaya bahwa pendekatan yang lebih visioner dan inklusif diperlukan untuk membangun negara dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
“Pengelolaan pendidikan harus dipegang oleh mereka yang benar-benar mengerti pentingnya pendidikan dalam pembangunan bangsa,” katanya. “Kita butuh kebijakan yang memajukan pendidikan, bukan yang justru menjerumuskan mahasiswa ke dalam masalah yang lebih dalam.”
Bayu menegaskan bahwa kebijakan pendidikan harus selalu sejalan dengan tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. “Hal tersebut sesuai dengan tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Setiap warga negara Indonesia perlu memperoleh pendidikan yang layak,” pungkasnya.
Dengan kritik yang disampaikan, KMHDI berharap Menko PMK dapat menarik ucapan mengenai penggunaan pinjol untuk membayar UKT dan mencari solusi yang lebih tepat dan berkelanjutan untuk masalah pendidikan di Indonesia. Mereka mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama mencari jalan keluar yang lebih baik demi masa depan generasi muda yang lebih cerah.
“Ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk memastikan bahwa setiap mahasiswa memiliki akses ke pendidikan yang berkualitas tanpa harus terbebani oleh utang yang tidak terkendali,” kata Bayu. “Mari kita bekerja bersama untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.”