
Netralitas Gubernur dan Dinamika Kekuasaan: Kajian Kritis atas Penempatan Menantu Gubernur Gorontalo di Bank SulutGo
Penempatan individu yang memiliki afiliasi kekerabatan langsung dengan kepala daerah yakni menantu Gubernur Gorontalo dalam posisi strategis di Bank SulutGo (BSG) telah memantik respons kritis dari berbagai kalangan, menyoroti permasalahan mendasar terkait etika tata kelola, netralitas institusi publik, dan integritas dalam manajemen sumber daya manusia sektor publik. Praktik semacam ini, bila tidak ditangani secara transparan dan akuntabel, berpotensi memperkuat patronase politik dan mereduksi prinsip meritokrasi yang menjadi pilar utama birokrasi modern.
Isu ini semakin memperoleh perhatian luas setelah pernyataan resmi yang disampaikan oleh Juru Bicara Pemerintah Provinsi Gorontalo, Noval Abdussamad, dalam percakapan via seluler dengan pers pada 9 April 2025. Abdussamad menyampaikan “bahwa penempatan tersebut didasarkan pada asas profesionalisme dan disesuaikan dengan kebutuhan kelembagaan, serta menegaskan bahwa semua kandidat telah melalui proses verifikasi administratif”. Namun, tidak adanya bukti empiris yang dapat diverifikasi publik mengenai proses seleksi terbuka, indikator penilaian, dan keterlibatan aktor independen dalam pengambilan keputusan, telah menimbulkan kekhawatiran mengenai legitimasi proses tersebut.
Dalam perspektif akademik, respons tersebut telah dikritisi oleh Abd Ziad Arafah, Mahasiswa Pasca dalam kajian Ilmu komunikasi politik. Ia menyatakan bahwa pernyataan yang bersifat defensif dari juru bicara pemerintah mencerminkan bias institusional dan kegagalan dalam menjunjung prinsip transparansi deliberatif. Ziad menekankan bahwa ketika relasi kekuasaan bercampur dengan praktik pengisian jabatan strategis di lembaga keuangan milik daerah, maka terdapat risiko serius terhadap erosi kepercayaan publik dan pelembagaan nepotisme dalam struktur birokrasi.
“Ketiadaan mekanisme seleksi yang terpublikasi secara terbuka serta dominasi narasi pembenaran dari institusi yang seharusnya netral, menunjukkan adanya kecenderungan eksklusi publik dari proses pengambilan keputusan yang memiliki dampak sistemik terhadap tata kelola pemerintahan daerah,” ujar Ziad. Menurutnya, kondisi tersebut tidak hanya melemahkan performa institusi, tetapi juga berimplikasi pada persepsi publik mengenai legitimasi etis dan politik dari penguasa lokal.
Hingga naskah ini ditulis, belum terdapat tanggapan resmi dari pihak Bank SulutGo atas isu tersebut. Namun, ruang digital telah menjadi arena artikulasi keresahan kolektif warga, di mana wacana tentang transparansi, akuntabilitas, dan desentralisasi kekuasaan menjadi titik tekan utama. Gelombang kritik publik merepresentasikan tuntutan akan tata kelola yang inklusif serta bebas dari konflik kepentingan struktural.
Peristiwa ini menggambarkan urgensi penataan ulang relasi antara kekuasaan politik dan institusi publik di tingkat lokal. Dalam kerangka reformasi birokrasi, diperlukan penguatan regulatif serta mekanisme kontrol eksternal yang mampu menjamin praktik manajemen berbasis integritas. Penegakan prinsip meritokrasi tidak boleh diposisikan semata-mata sebagai wacana administratif, melainkan sebagai fondasi epistemik dan normatif dalam merawat legitimasi demokrasi lokal serta memperkuat keefektifan institusional secara berkelanjutan.
Baca Berita Lainnya di Pohalaa.com