3 Cacat Hukum Fatal dalam Keputusan Gubernur Gorontalo

Opini Publik

Gorontalo – Polemik dalam tubuh birokrasi Pemerintah Provinsi Gorontalo kembali mencuat pasca ditetapkannya Keputusan Gubernur Nomor 201/26/VII/2025 tentang Tata Cara Penilaian, Pengurangan, Penundaan, dan Sistem Informasi Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN. Meskipun berniat memperkuat pelaksanaan Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2023, ironisnya, Keputusan Gubernur ini justru diduga bertentangan dengan regulasi induknya sendiri.

Secara fundamental, persoalan ini bermula dari ketidakpahaman para pembantu Gubernur dalam membedakan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan (regeling) dan penetapan (beschikking). Secara yuridis, sebuah Keputusan Gubernur (beschikking) seharusnya hanya mengikat pada hal-hal yang konkret, individual, dan final.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keputusan ini memuat norma-norma baru yang bersifat umum dan normatif, seperti kewajiban ASN menyebarkan informasi Pemda di media sosial dengan ambang batas minimal 95%. Norma-norma yang berlaku untuk semua ASN seperti ini seharusnya dituangkan dalam bentuk Peraturan Gubernur (regeling)—sebuah produk hukum yang memang berfungsi untuk membuat aturan umum.

Kesalahan fatal ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap asas legalitas dan prinsip lex superior derogat legi inferiori, yang menegaskan bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Keputusan Gubernur ini tidak memiliki landasan dalam Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2023. Demikian pula, pemberian TPP tambahan bagi pejabat Plt/Plh dan sanksi pengurangan TPP karena tidak ikut apel atau pelatihan, merupakan norma-norma baru yang tidak pernah diatur sebelumnya, yang seharusnya tidak boleh ada dalam sebuah beschikking.

Tidak hanya sekadar pelanggaran administratif, penerapan regulasi cacat hukum ini berpotensi masuk ke ranah pidana. Ketika pejabat yang berwenang memaksa pelaksanaan kebijakan yang bertentangan dengan hukum, ia dapat dianggap menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir). Bahkan, pemberian TPP tambahan yang tidak sah kepada Plt/Plh dapat digolongkan sebagai tindakan manipulatif yang menimbulkan kerugian negara yang pada akhirnya bermuara pada dugaan tindak pidana korupsi.

Lebih jauh, dari perspektif Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), pelaksanaan Keputusan Gubernur ini juga mencederai asas kecermatan, kepastian hukum, profesionalisme, dan akuntabilitas. ASN berhak mendapatkan kepastian hukum atas hak dan kewajiban kinerjanya, bukan menjadi korban dari kebijakan yang goyah secara landasan hukum.

Sudah seharusnya Pemprov Gorontalo mengambil langkah korektif. Menunda pelaksanaan Keputusan Gubernur yang bermasalah, merevisi Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2023 untuk mengakomodasi norma baru secara sah, serta memastikan semua kebijakan ke depan memiliki dasar hukum yang kuat dan sahih. Jika tidak, birokrasi justru akan menjadi ladang abu-abu hukum yang membingungkan pegawai dan membuka celah penyalahgunaan wewenang oleh oknum pengambil kebijakan.

Ingin Melihat Info Menarik Lainnya Klik CITYZEN